Mengecoh mencuci piring tak hanya berhubungan dengan kemalasan. Di balik tumpukan perabot yang menumpuk terdapat lelah psikis yang mungkin mempengaruhi kondisi mental kita.
Jika Anda tergolong orang yang biasa mengulur-ulur waktu untuk membersihkan piring hingga bertumpuk-tumpuk merapat ke atap dapur, maka Anda bukanlah satu-satunya. Saya pun pernah seperti itu dan sesekali masih melakukannya. Dari sekedar beberapa piring kotor diawal, lama-lama hal tersebut menjadi bentukan mini dari keribetan. Ironisnya, saya sering kali menyadari bahwa meninggalkannya malahan membuat lingkungan rumah serta rasa nyaman dalam diri semakin sempit. Namun anehnya, saya sering berkata pada akhirnya, “Nanti dulu deh.”
Namun, hal ini tidak hanya berkenaan dengan piringan saja.
Ini soal kita.
Dan perilaku sederhana yang tidak disadari dapat mengganggu produktivitas, bahkan kesejahteraan mental kita. Iya, kelihatannya remeh. Namun, marilah kita teliti lebih jauh lagi. Mengapa pekerjaan semacam ini bisa tampak begitu memberatkan? Apa sesungguhnya penyebab dari piring-piring kotor tersebut yang selalu tertinggal dan disepelehkan?
Bukan Masalah Waktu, Tetapi Masalah Energi Perasaan
Sebagian besar di antara kita memiliki waktu sekitar 5-10 menit untuk membersihkan piring. Namun, durasi tidak selalu menjadi hambatan terbesarnya. Biasanya yang menghentikan lebih banyak adalah tenaga emosi.
Terkadang kita memilih untuk menunda membersihkan peralatan makan lantaran lelah di dalam diri, bukan dari segi fisik. Usai beraktivitas sepanjang hari, merawat anak-anak, atau bertarung melawan pemikiran personal, tugas yang biasa seperti mencuci piring bisa tampak begitu memberatkan. Dalam benak, peralatan makan yang belum dibersihkan tidak sekadar objek saja; mereka menjadi lambang keletihan itu sendiri.
Terkadang kita mengalami penundaan bukan karena kurangnya waktu, tetapi disebabkan oleh keletihan yang tidak kelihatan—kelelahan emosi yang menjadikan piring kotor seolah-olah menjadi sebuah pegunungan.
Otak kita tak selalu berpikir secara rasional. Lebih cenderung mencari ketenangan daripada tanggung jawab. Mengulur-ulur waktu seringkali menjadi cara untuk melindungi diri sendiri. Namun, hal ini justru bisa membuat beban emosional semakin meningkat. Meskipun demikian, kita masih saja melakukan hal tersebut. Sebab pada akhirnya, apa yang ingin dihindarinya bukanlah pekerjaannya, namun perasaan yang muncul dari situasi tersebut seperti kebosanan, paksaan, atau rasa tertekan.
Dampak Beruntun dari Menara Yang Jatuh
Menariknya, sebuah piring kotor dapat memicu efek dominó. Sehingga kita menjadi enggan membersihkan dapur. Kemudian area makannya pun berantakan. Selanjutnya kita cenderung males memasak dan lebih suka memesan makanan cepat sajinya. Akibatnya, sampah mulai bertambah banyak. Tiba-tiba saja kita merasa bahwa rumah sudah tidak nyaman lagi untuk ditempati.
Piring-piring tersebut secara tidak langsung mempengaruhi suasana hati kita. Studi di bidang psikologi lingkungan membuktikan bahwa ketidakteraturan visually (misalkan seperti hamparan piring) dapat meningkatkan tingkat stres serta merusak kemampuan untuk berkonsentrasi. Mata kita mendeteksi “tugas-tugas yang masih terbuka” ini sebagai suatu tantangan kecil. Akibatnya? Kami menjadi lebih gampang marah, berjuang dengan konsentrasi, dan cenderung menundakan aktivitas-aktivitas lain.
Bagian yang sulit bukan lah mencuci piring, tetapi menangani rasa letih yang tidak terlihat jelas.
Lebih buruk lagi, ketidakberesan kecil dapat menyebar ke wilayah yang lebih luas: pekerjaan, cinta, atau impian. Sebab terkadang, kisruh dalam hidup tak selalu disebabkan oleh hujan lebat, melainkan titik-titik air kecil yang luput dari pembersihan.
Apakah Yang Sesungguhnya Kami Hindari?
Pernahkah kau merasa bahwa mencuci piring memiliki sesuatu yang menyebabkan perasaan kesepian? Tak ada dampak langsung, tak ada penghargaan, dan tentunya kurang menarik untuk diposting di Instagram. Kegiatan tersebut hening, monoton, dan jika kita bicara jujur saja itu bisa membuat bosan.
Namun di balik rasa bosan tersebut, kita juga terlibat dalam dialog internal. Ketika kita berada sendiri di dapur dan tangan sibuk mencuci piring, pikiran seringkali melantai kemari. Pikiran melayang pada acara hari ini, hal-hal yang belum terselesaikan, serta topik-topik penting yang sebaiknya telah didiskusikan namun belum kunjung tersampaikan.
Mengekspresikan rasa lelah tidak selalu menunjukkan kemalasan. Terkadang itu adalah metode tubuh untuk berkomunikasi kebutuhan akan pengertian.
Maka sebenarnya bukan pekerjaan membersihkan piring yang sulit melainkan suasana sunyi tersebut. Kami memperlambatnya lantaran enggan menghadapi kesunyian itu. Sebab di tengah kediaman, kami sering kali mendapati suara-suara yang begitu bising tentang hal-hal yang kami coba hindari dalam kehidupan ini.
Kenapa Penting untuk Mengatasi Tugas-tugas Sepele
Kelegaan aneh timbul usai membersihkan peralatan makan. Tak sekadar lantaran dapur menjadi rapi, tetapi juga karena kita telah menuntaskan suatu hal. Menyelesaikan tugas, meski sederhana sekalipun, dapat merangsang pelepasan dopamin di otak, yaitu zat kimia pembawa kegembiraan.
Melengkapi pekerjaan sederhana memberi kita perasaan memiliki kendali. Di era yang selalu bergejolak ini, hal-hal sepele seperti mencuci piring dapat menjadi titik fokus. Ini sebagai penanda bahwa kita tetap mampu mengambil keputusan dan melakukan sesuatu dengan teratur. Mulailah dari hal-hal kecil tersebut.
Saat kita berhasil menuntaskan satu tugas kecil, itu memberi kita dorongan untuk melanjutkan penyelesaian yang lainnya. Kemudian secara tidak terduga, kita mendapatkan semangat baru untuk membersihkan ruangan, mengatur ulang rak buku, dan mungkin juga merencanakan kembali masa depan yang pernah tertunda.
Kerumunan Piring Sebagai Pantulan Psikologis
Saya pernah mencatat sebuah frasa yang sangat mengena:
Keadaan dapur kita kerap kali menggambarkan keadaan jiwa kita.
Pertama-tama, saya kira hal tersebut terlalu berlebihan. Namun, cobalah untuk mengingat, betapa seringnya piring bertumpuk ketika Anda sedang stres? Ketika hatimu hancur? Atau ketika rasanya hidupmu tak kunjung membaik?
ternyata, tugas ringan semacam mencuci peralatan makan dapat menjadi indikator kesejahteraan mental. Saat kita merasa terganggu, keadaan sekitar pun akan tampak acak-acakan. Namun, begitu kita mulai mengatur sesuatu meski hanya sedikit, sepertinya kita juga tengah menyusun ulang pikiran dan perasaan kita.
Maka, Apakah Kita Harus Mengharuskan Diri Sendiri?
Hasilnya: belum tentu. Paksakan dapat menambah rasa malas. Namun, kesadaran bisa mengarahkan jalan terbukanya.
Ketika kita menyadari bahwa kondisi kita kurang baik, kita dapat memulainya dengan langkah yang sederhana. Kita tidak harus menyelesaikan semua masalah sekaligus. Bisa jadi hanya dengan mengambil satu sendok atau meminum segelas air. Intinya adalah untuk tetap maju dan bertindak.
Kadang-kadang, mengatasi keterlambatan tak melulu tentang mengalahkan malas, tetapi justru memahami diri sendiri dengan lebih baik. Tak perlu menjadi sempurna. Namun, kita dapat bergerak secara bertahap.
Mencari Kepanjangan di Balik Lembaran Busa dan Tetesan Sabun
Uniknya, sejak saya mulai memahami hal-hal tersebut, mencuci perabot dapur menjadi lebih… istimewa.
Tidak terlalu menghibur, tetapi justru lebih bernilai maknanya. Terdapat sejenis tempat untuk bersantai dalam pikiran yang ada di tengah-tengah aliran air panas, gelembungan sabun, serta pergerakan yang berulang-ulang. Sesekali, saya bahkan mendapatkan inspirasi tulisan ketika sedang mencuci piring. Bisa juga hanya memikirkan percakapan dengan orang lain. Di momen sunyi tersebut, saya merasa sangat dekat dengan diri sendiri.
Bisa jadi hal itu adalah sesuatu yang kita lewati sejauh ini. Terkadang, kita begitu sibuk menghindari kesendirian sehingga luput menemukan bahwa banyak jawaban seringkali tersimpan dalam keheningan tersebut.
Saat Hati Yang Harus Diembersihkan Terlebih Dahulu
Akhirnya, esai ini tak sekadar membahas tentang piring. Melainkan mengenai cara kita menjalani kehidupan.
Kita sering mengalami penundaan akibat kelelahan, ketakutan, kebosanan, atau perasaan tidak mampu. Hal ini normal saja terjadi. Namun, menjalani hidup bukan berarti semestinya selalu tertata dengan baik. Kehidupan justru berkaitan erat dengan pemahaman akan keteraturan dalam kemelut tersebut, serta tetap melanjutkan untuk menyusuri urusan satu demi ribuan pekerjaan yang belum terselesaikan.
Bisa jadi pada malam hari ini, sesaat sebelum terlelap, mari kita memulai dengan membersihkan dapur. Pilih sebuah piring dan gosok pelan-pelan. Biarkan aliran air berjalan layaknya nafas yang semakin ringan. Di sana, kamu akan merasakan bahwa di tiap tugas kecil yang diselesaikan, bagian diri kita juga kembali pulih.
Perlahan-lahan dulu. Tak ada yang terburu-buru.
Namun demikian, kita mengerti bahwa hal tersebut penting.
Dan tak terduga, hal itu membuat kita merasa… seperti sudah sampai di rumah.